...

Epistemology

Plato dan Aristoteles yang mempersoalkan substansi realitas. Plato yang terkenal dengan gagasan tentang ide, menyebutkan bahwa sumber pengetahuan itu terletak pada "gagasan"(ide) bersumber pada pikiran. Sebaliknya Aristoteles mengangap sumber pengetahuan adalah (realisme) yang bertumpu pada empirisme. Perdebatan ini di tengahi oleh immanuel kant bahwa pikiran tidak bisa melihat, pancaindra tidak bisa berfikir. Intinya sumber pengetahuan bersumber dari keduanya.

Ada beberapa masalah yang di persoalkan dalam epistemologi. Pertama, apakah realitas sosial itu objektif yang berpusat pada pengalaman atau subyektif yang bertumpu pada makna. Kedua, apakah ilmu pengetahuan itu bebas nilai (free value) atau terkaitnilai. ketiga, apakah realitas sosial itu bersifat deterministik bersifat serba kausalitas dan linier atau sebaliknya bersifat kesukarelaan dan tidak linier (siklus). Keempat, apakah asumsi kebenaraan itu harus dibuktikan melalui verifikasi pengalaman indrawi atau melalui pemahaman (tafsir).

Perdebatan itu ternyata memiliki implikasi luas. Pertama, bagi kaum posotivis pewaris tradisi aristotelian berangapan bahwa realitas itu bersifat objektif dan hanya bisa di ketahui melalui pengalamanindrawi. Bagi realisme "dunia yang kita ketahui berada terlepas dari pengetahuan kita terhadapnya". Sebaliknya bagi kaum ideografis (subyektifis) realitas merupakan hasil kontruksi kepentingan yang subyektif.

Kedua, bagi kaum positivis ilmu adalah bebas nilai. tidak ada pertanyaan moral yang dapat disertakan dalam kebenaran ilmu. Tugas ilmuwan hanyalah memotret realitas itu apa ada (how to know) dan tidak ada kwajiban untuk merubahnya (how to change). Sebaliknya bagi kaum subyektifis (kelpmpok kritis), ilmu tidak netral. Tugas ilmuwan tidak hanya sekedar mengetahui realitas secara apa adanya, tetapi berkwajiban untuk merubahnya.

Ketiga, pada hakekatnya dalam ilmu pengetahuan (sosial) ada keteraturan yang dapat dilacak sebab akibatnya dan jalannya perubahan bersidat linier. Sehingga jalan realitas bisa diprediksi. Sebaiknya bagi kaum subyektifis, tidak keteraturan yang dilakukan dalam sebab-akibat yang deterministik. Terlalu banyak keunikan yang tidak bisa diseragamkan dan diprediksi secara matematis, karena jalanya realitas cenderung mengulang (siklus).

Keempat, kebenaran realitas sosial hanya bisa disebut obyektif, jika dapat dibuktikan (verified) melalui verivikasi empiris yang dapat di tempuh melalui uji-statis. bagi kaum subyektifis kebenaran bukan sekedar fakta, melainkan lebih berkaitan dengan "makna". Dan makna tidak dapat direduksi melalui verifikasi atau falsifikasi, melainkan oleh pemahaman (tafsir).

Perdebatan apakah ilmu itu "bebas nilai", netral, atau sebaliknya ilmu itu terikat nilai dan tidak netral, telah memiliki implikasi terhadap peran ilmuwan. Apakah penelitian dan obyek yang ditelitinya harus diangap terpisah atau keduanya harus dilibatkan sebagai instrumen perubahan sosial.

Implikasinya apakah seorang ilmuan hanya bertugas untuk memotret realitas sosial itu secara apa adanya, berjarak dan tidak bertanggungjawab atas realitas itu, ataukah mereka bertanggungjawab atas perubahan sosial seperti yang dikehendaki.

Bagi mereka yang berpendapat bahwa tugas ilmuwan adalah sekedar memiliki fungsi kependetaan (sekedar menyampaikan) dan bukan fungsi kenabian (mengubah), maka ilmuwan dianggap steril dari kepentingan perubahan. bagi penganut paradigma positivistik ini, jika ilmuwan terlibat dalam perubahan cara seperti ini bukan hanya dianggap menggangu netralitas keilmuwan, tetapi juga sudah masuk dalam wilayah idiologis atau bertindak sebagai aktivis sosial. Disini harus dibedakan antara antara tugas ilmuwan dan tanggungjawab sosial politik. Kalau ilmuwan telah melakukan pembelaan pada nilai tertentu, maka ia sudah tidak bertindak atas wewenangnya sebagai ilmuan tetapi sebagai aktifis.

Sebaliknya bagi mereka yang berangapan bahwa tugas ilmuan adalah bukan hanya mengetahui tetapi juga mengubah, berangapan bahwa sikap ilmiah tidak identik dengan ilmuan secara de facto mempraktekan ilmunya. Sikap seperti ini cenderung hanya akan memelihara status quo.

mestinya seorang ilmuan harus menanyakan apakah realitas yang ditemukan itu perlu diubah atau dipelihara. Dengan kata lain, apakah ilmu juga bersifat idiologis atau tidak dalam penerapannya telah menjadi perdebatan sampai hari ini. (Aji damanuri, MSI)


Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

Kritik Dan saran yang sifatnya membangun sangat saya harapkan dari kawan-kawan..untuk itu silahkan komentar di bawag ini..

Jangan Lupa Kunjungi Di Bawah Ini

Follow

Komentar Terbaru

ASPIRASI © 2008 Template by Dicas Blogger Supplied by Best Blogger Templates

Back To Top